Kasus bunuh diri mahasiswa di Yogyakarta akhir pekan lalu – hanya beberapa hari menjelang Hari Kesehatan Mental Sedunia pada 10 Oktober – menambah urgensi penanganan masalah kesehatan mental di antara anak muda Indonesia. Menurut riset, berbagai potensi kondisi psikologis dan gangguan mental pada manusia memang mulai menunjukkan gejalanya pada usia kritis remaja atau dewasa muda. Dengan populasi kelompok usia 10-19 tahun yang mencapai 44,5 juta jiwa, Indonesia harus mulai melakukan investasi di bidang kesehatan mental remaja. Read more Riset usia 16-24 tahun adalah periode kritis untuk kesehatan mental remaja dan anak muda Indonesia Sayangnya, usaha untuk melakukan perbaikan kondisi kesehatan mental ini selalu terganjal satu hal tidak adanya data berskala nasional mengenai hasil diagnosis kesehatan mental remaja di Indonesia. Penelitian yang kami lakukan bersama University of Queensland di Australia dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat AS, berjudul Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey I-NAMHS yang akan terbit pada 20 Oktober pekan depan, berusaha untuk mengisi kekosongan data ini. Kami menemukan bahwa 1 dari 20 sekitar remaja di Indonesia terdiagnosis memiliki gangguan mental, mengacu pada Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental DSM-V keluaran American Psychological Association APA. Artinya, sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia termasuk dalam kelompok Orang dengan Gangguan Jiwa ODGJ. Gangguan kecemasan anxiety disorder menjadi gangguan mental paling umum di antara remaja 10-17 tahun di Indonesia sekitar 3,7%. Ini disusul oleh gangguan depresi mayor 1,0%, gangguan perilaku 0,9%, serta gangguan stres pascatrauma PTSD dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas ADHD yang masing-masing diderita oleh 0,5% populasi usia tersebut. Gangguan kecemasan di antara remaja Gangguan kecemasan dalam I-NAMHS terdiri dari dua jenis, yaitu fobia sosial ketakutan berlebih secara khusus terhadap situasi sosial seperti presentasi di depan kelas dan gangguan kecemasan menyeluruh kecemasan berlebihan terkait beberapa kejadian atau aktivitas, misalnya mengenai ujian yang akan berlangsung. Gangguan kecemasan ini bisa timbul akibat gabungan berbagai faktor, mulai dari genetik, sistem syaraf, keluarga, dan lingkungan sekitar. Di saat seseorang gagal meregulasi stres yang ia alami, hal ini dapat muncul sebagai gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan tergolong sebagai gangguan mental yang umum diderita. Tapi, bukan berarti gangguan ini bersifat ringan. Menurut penelitian peneliti psikologi Terri Barrera dan Peter Norton dari University of Houston di AS, orang-orang yang menderita fobia sosial atau gangguan kecemasan menyeluruh cenderung memiliki kualitas hidup – dari kepercayaan diri, kepuasan finansial, hingga kehidupan asmara – yang lebih buruk dibandingkan orang-orang tanpa kondisi ini. I-NAMHS juga memperlihatkan bahwa remaja yang menderita gangguan cemas akan cenderung mengalami gangguan fungsi, setidaknya pada satu ranah kehidupan mereka. Ada empat domain yang kami evaluasi dalam I-NAMHS yaitu keluarga masalah dengan orang tua, kesulitan beraktivitas bersama anggota keluarga, teman sebaya masalah hubungan dengan teman sebaya, sekolah atau pekerjaan kesulitan menyelesaikan tugas sekolah, performa akademik yang buruk, atau distres personal rasa bersalah atau rasa sedih yang berkepanjangan. Di antara remaja Indonesia yang mengalami gangguan mental, sebanyak 83,9% mengalami gangguan fungsi pada ranah keluarga, disusul oleh ranah teman sebaya 62,1%, sekolah atau pekerjaan 58,1%, dan distres personal 46,0%. Masalah kejiwaan lain juga tetap menghantui Selain itu, I-NAMHS juga menunjukkan bahwa sebenarnya ada lebih banyak lagi remaja di Indonesia yang mengalami beberapa gejala gangguan mental, namun tidak cukup untuk dikatakan menderita gangguan mental sesuai kriteria DSM-5. Merujuk pada Undang-Undang UU Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, mereka dikelompokkan sebagai Orang dengan Masalah Kejiwaan ODMK. Artinya, mereka sangat rentan untuk mengalami gangguan mental. Hampir 35% setara 15,5 juta remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia terdiagnosis memiliki setidaknya satu masalah kesehatan jiwa dalam survei I-NAMHS sehingga masuk ke dalam kategori ODMK. Rasa kecemasan adalah masalah gangguan mental yang paling banyak muncul di antara remaja di Indonesia 26,7%. Ini disusul masalah terkait pemusatan perhatian dan/atau hiperaktivitas 10,6%, depresi 5,3%, masalah perilaku 2,4%, dan stres pascatrauma 1,8%. Prevalensi depresi, masalah perilaku, dan masalah terkait pengelolaan perhatian dan/atau hiperaktivitas remaja laki-laki juga cenderung lebih tinggi dibandingkan remaja perempuan. Selain itu, kami menemukan remaja yang lebih muda 10-13 tahun memiliki prevalensi masalah pemusatan perhatian dan/atau hiperaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang berusia lebih tua 14-17 tahun. Sebaliknya, remaja yang berusia lebih tua memiliki prevalensi depresi yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang lebih muda. Masa depan kesehatan mental remaja di Indonesia Mengetahui beban penyakit mental pada populasi remaja di Indonesia hanyalah langkah awal untuk perencanaan program dan advokasi kesehatan mental remaja yang lebih baik. Temuan I-NAMHS dengan jelas menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental dan gangguan mental adalah hal umum yang terjadi di antara remaja di Indonesia. Untuk menanggulangi beban gangguan dan masalah kecemasan, pemerintah Indonesia beserta pemangku kepentingan harus memprioritaskan program-program yang bertujuan membantu remaja dalam mengelola rasa cemas yang mereka alami. Fakta bahwa sebagian besar dokter ahli jiwa dan psikolog klinis berpraktek di perkotaan membuat isu layanan kesehatan mental remaja menjadi hal yang harus menjadi prioritas Indonesia. Di seantero negeri, misalnya, hanya ada sekitar 0,29 psikiater dan 0,18 psikolog per penduduk. Bahkan, dalam riset tahun 2021 dari Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, sebanyak 96,4% dari hampir 400 remaja yang mereka survei kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang sering mereka alami. Banyak dari mereka mengkritik layanan kesehatan di Indonesia yang belum tentu menjamin kerahasiaan dan cenderung menghakimi. Mengingat bahwa hampir semua remaja di Indonesia bersekolah, tenaga kependidikan juga bisa menjadi alternatif utama untuk memastikan semua remaja yang membutuhkan dukungan kesehatan mental bisa mendapatkan bantuan dan rujukan yang layak. Keluarga merupakan domain yang juga sangat berpengaruh dalam penanganan gangguan mental remaja. Oleh karena itu, orang tua dan anggota keluarga lain juga harus saling teredukasi maupun mengedukasi mengenai kesehatan mental agar bisa membantu remaja dalam mengelola kesehatan mental.Padakesempatan kali ini akan dibahas tentang isi teks pidato tersebut berbicara tentang beragam kesehatan tubuh. Terutama di kalangan remaja. Contoh Teks Persuasif tentang Kesehatan Mental. Pidato Tentang Kesehatan Alangkah baiknya pidato yang berbentuk kata-kata saja dapat disampaikan lebih baik dengan memperhatikan ekspresi wajah
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Kekerasan seksual telah menjadi salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan, terutama bagi anak-anak dan remaja dewasa ini. Tidak pandang usia, kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja. Namun, apa yang sebenarnya terjadi pada kesehatan mental para korban kekerasan seksual dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kehidupan mereka?Berdasarkan penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa korban kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada satu kelompok usia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang pengaruh kesehatan mental terhadap mereka yang pernah mengalami pelecehan seksual di sekitar kita. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode survei dengan menggunakan Google Form sebagai alat pengumpulan survei menunjukkan bahwa 88% dari korban kekerasan seksual adalah wanita, sementara 12% sisanya adalah pria. Rentang usia korban berada antara 11 hingga 23 tahun, dengan mayoritas terjadi pada usia remaja, khususnya 18-20 tahun. Lebih dari separuh korban mengalami pelecehan secara verbal seperti catcalling dan body shaming, sementara 36% lainnya mengalami pelecehan secara non-verbal seperti disentuh tanpa izin. Menariknya, sekitar 80% dari korban merasa bahwa kejadian ini mempengaruhi kesehatan mental mereka, dengan 8% dari mereka mencari bantuan dari seorang psikolog. Lebih dari separuh korban juga melaporkan adanya dampak jangka panjang seperti hilangnya rasa percaya diri, ketakutan yang berlebihan, perasaan tidak berharga, rasa malu, dan trauma. Temuan ini sejalan dengan data yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual lebih sering dialami oleh perempuan. Menariknya, wawancara dengan salah satu responden mengungkapkan pengalaman pribadi yang mencatat adanya pelecehan verbal seperti catcalling dan juga pelecehan fisik. Pengalaman ini menyebabkan trauma dan ketakutan yang berkelanjutan bagi responden. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak yang serius terhadap kesehatan mental korban, terutama pada anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, dukungan sosial dan pendampingan yang memadai sangatlah penting dalam membantu korban mengatasi trauma dan memulihkan kesehatan mental mereka. Keluarga, teman, dan sahabat harus mampu mendengarkan korban tanpa menghakimi, menciptakan ruang bagi mereka untuk berbicara, dan memberikan bantuan yang dari penelitian ini adalah bahwa kekerasan seksual memiliki dampak yang serius terhadap kesehatan mental korban, terutama anak-anak dan remaja. Temuan menunjukkan bahwa mayoritas korban adalah perempuan, dengan rentang usia remaja yang rentan terhadap kekerasan seksual. Pelecehan verbal dan non-verbal menjadi bentuk umum dari kekerasan seksual yang dialami jangka panjang dari kekerasan seksual meliputi hilangnya rasa percaya diri, ketakutan yang berlebihan, perasaan tidak berharga, rasa malu, dan trauma. Sebagian besar korban merasa bahwa kejadian tersebut mempengaruhi kesehatan mental mereka. Meskipun hanya sebagian kecil dari korban mencari bantuan dari seorang psikolog, penting untuk menjamin akses dan dukungan yang memadai untuk pemulihan menghadapi dampak kesehatan mental yang ditimbulkan oleh kekerasan seksual, dukungan sosial dan pendampingan menjadi sangat penting. Keluarga, teman, dan sahabat harus mampu mendengarkan tanpa menghakimi, menciptakan ruang untuk korban berbicara, dan memberikan bantuan yang dibutuhkan. Upaya pencegahan juga harus ditingkatkan, termasuk pendidikan tentang kesadaran kekerasan seksual dan upaya untuk mengubah budaya yang mendukung pelecehan seksual. Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dampak kekerasan seksual pada kesehatan mental korban. Dengan memahami dampak ini, diharapkan kita dapat bekerja sama untuk mengurangi angka kekerasan seksual, memberikan dukungan yang diperlukan, dan memulihkan kesehatan mental korban kekerasan seksual. Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
.